Friday 21 October 2016

Pengertian Ijtihad


Ijtihad menurut bahasa berarti mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Para ahli ushul fiqih merumuskan pengertain ijtihad sebagai berikut. Pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ melalui dalil-dalil syara pula. Orang yang melakukan ijtihad dibut mujtahid.
Berdasarkan rumusan ijtihad di atas, maka ijtihad dapat dilakukan oleh seorang mujtahid  apabila memiliki memenuhi sayarat sebagai berikut.
a.    Mengetahui nash Al-quran dan Hadits. Kemampuan ini tidak disyaratkan hapal, melainkan cukup mampu dan dapat mengemukakannya manakala dibutuhkan: baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadist khusus mengenai hadist selain mengetahui keadaan perawinya sserta mengetahui ma’na-ma’na hadits yang maqbul dan ma’na-ma’na yang mardud.
b.    Mengetahui masalah ijma’ dan masalah-masalah yang ditetapkan hukumnya malalui ijma’ karena dilarang mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijma’
c.    Mengetahui ilmu Ushul fiqh, karena ilmu ini menjadi dasar memahami Al-Qur’an dan Hadist.
d.    Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena tidak boleh mengeluarkan hukum berdasarkan dalil mansukh.
e.    Mengetahui nasikh-mansukh, karena tidak boleh mengeluarkan hukum berdasarkan dalil mansukh
f.    Mengetahui kemaslahatan berdasarkan pertimbangan akal sehat.

Ijtihad bertujuan menghasilkan hukum syara’ setiap peristiwa yang tejadi tentu ada dan harus ada hukumnya, sedangkan nash Al-Qur’an maupun hadist terbatas jumlahnya. Maka ini berarti harus dilakukan ijtihad sebagai alat penggali hukum.
Ijtihad hanya dibenarkan bagi peristiwa atau hal-hal yang di bawah ini :
1.    Ada suatu peristiwa tetapi tidak ada dalilnya yang Qath’i (jelas dan tegas) secara dhilalah (penunjukannya),
2.    Ada suatu peristiwa yang sudah ada ketentuan nashnya tetapi dzanni fi al-dhilalah (samara, belum jelas penunjukkannya).
3.    Ada suatu peristiwa tetapi tidak ada dalilnya sama sekali,
    Contoh : kasus hukum bayi tabung, asuransi, bank dll. Keadaan-keadaan seperti ini memerlukan ketetapan hukum tetapi hal ini tidak pernah terjadi di jaman rasulullah, maka diperlukanlah ijtihad masa kini tentang masalah di atas.
Tentang hukum berijtihad para ulama ushul fikih, antara lain at-Tayyib Khudari as-Sayyid, berpendapat bahwa jika syarat tersebut di atas telah dipenuhi oleh seseorang, maka hukum melakukan ijtihad baginya dapat menjadi fardu ain’ fardu kifayah, mandub, dan dapat pula haram. Berbagai hukum itu tergantung kepada kebenaran dan kemashlahatan bagi umat.

No comments:

Post a Comment